:: Menyelusuri Cinta Ali Bersama Fatimah Az-zahrah ::


Assalammualaikum Tautan Hati..

Hujung minggu yang menceriakan. Alhamdulillah diberi kesempatan untuk insyirah menghirup udara yang percuma dariNYA. Alhamdulillah juga untuk hari-hari yang sibuk dalam hidup insyirah. Sekurang-kurangnya, insyirah ada masa untuk bertemu denganNYA walaupun terkadang dihujung waktu.

Mencari-cari keindahan, rupanya cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.

Insyirah nak ajak kita semua menyelusuri kembara cinta Khulafa Ar-rasyidin keempatSaidina Ali ibn Abu Talib bersama Puteri Rasulillah, Fatimah Az-Zahrah. Semoga bermanfaat..

Ada rahsia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fatimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.

Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar khabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

 ”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.Ia merasa diuji karana merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karana ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berdakwah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.

Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari segi kewangan, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih membahagiakan Fatimah.

Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.  “Inilah persaudaraan dan cinta”, kata Ali. “Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fatimah atas cintaku”. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harapan di hatinya yang sempat layu.Lamaran Abu Bakar ditolak. Dan Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. 

Setelah Abu Bakar mundur, datanglah melamar Fatimah seorang lelaki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang lelaki yang membuat syaihan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebatilan itu juga datang melamar Fathimah. Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakar dan Umar, aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar..”

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fatimah. Lalu cuba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana Umar melakukannya. Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang kecewa kerana tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang Umar di balik bukit ini!”  Umar adalah lelaki yang berani. Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fatimah binti Rasulillah! Tidak. Umar jauh lebih layak. Dan Ali redha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan. 

Maka Ali bingung ketika khabar itu meruyak. Lamaran Umar juga ditolak.Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti Utsman yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

”Mengapa bukan engkau yang mencuba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencuba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”  ”Aku?”, tanyanya tak yakin.”Ya. Engkau wahai saudaraku!”  ”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuberikan?”     ”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”  

’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fatimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fatimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul risiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. 

Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan.

Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu risiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?” ”Entahlah..” ”Apa maksudmu?” ”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban”. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !” 

Dan Ali pun menikahi Fatimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, Umar, dan Fatimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.

Ali adalah gentleman sejati. Tidak hairan kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. 

Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Puteri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fatimah berkata kepada Ali, “Maafkan aku, kerana sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ” ‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mahu menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?” Sambil tersenyum Fatimah berkata, “Ya, kerana pemuda itu adalah Dirimu”

Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskhawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”

Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4).


”Cinta tak pernah meminta untuk menanti. 
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. 
Yang pertama adalah keberanian, 
Yang kedua adalah pengorbanan"


0 comments:

Post a Comment

LinkWithin

~Bersama Kamu~

Daisypath Anniversary tickers